Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Bukit Ketiga Belas - Cerpen

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




Judul Cerpen : Bukit Ketiga Belas
Karya : Reza Andika






Nama ku Hanum, aku punya teman nama nya Ajo
Ajo tidak punya sepatu, kepala nya di cukur gundul supaya tidak ada kutu nya.
hidung nya ingusan, pakaian nya Usang, setiap pagi , ia selalu berkelahi dengan saudara saudara nya,
berebut seragam sekolah.
bila menang, ia kesekolah memakai baju seragam.
bila kalah, ia bertelanjang dada.
Ajo bilang , aku sahabat nya.
 ''mengapa kau menganggapku demikian?''tanyaku heran.
Ajo bilang, karena aku baik hati. aku sering memberi bekal makan siang ku kepada nya sebenar nya, aku tidak sebaik itu.
setiap hari ibu membuatkan ku bekal makan siang yang berbeda.
kalau aku tak suka bekal ku, ku berikan saja pada ajo.
Namun, kalau aku suka, ajo tidak ku bagi.
aku jadi merasa tidak enak karena ajo menganggapku sahabat yang baik.
aku menatap ballpoint logam kesayangan ku, hadiah dari ayah.
aku selalu menulis cerpen, pelajaran, dan catatan harian ku dengan ballpoint tersebut.
kuberikan ballpoint itu kepada ajo sebagai tanda persahabatan. ''tetapi ini ballpoint kesayangan mu!''kata ajo.

''aku tidak bisa menerima nya''
''kalau tidak mau, berarti kau bukan sahabat ku,'' kataku.
maka ajo pun bersedia menerimanya.
ada 14 bukit di desa ku. ajo telah mendaki 12 bukit diantaranya.
kini ajo hendak mendaki bukit yang ketiga belas.
biasa nya ia mendaki seorang diri.
namun, kali ini ia ingin mengajak aku, sahabat nya.

''aku tidak mau bolos sekolah,''tolak ku.
''kita akan mendaki pada hari minggu.''
''tiga belas itu angka sial''
''kau anak pintar,''kata ajo, '' kenapa masih percaya tahayul ?''
aku menatap ajo '' bagaimana aku akan mendaki bukit dalam keadaaan seperti ini ?''tanya ku sedih.
aku sakit dan tidak mampu lagi berjalan.
aku harus memakai kursi roda.
''aku akan menggendong mu, ''kata ajo.
'' sampai kepuncak !''
''ayah dan ibuku tidak akan mengizinkan, ''kataku.
akan tetapi, sungguh di luar dugaan, kedua orang tuaku memperbolehkan aku mendaki bersama ajo.
maka berangkatlah kami pada hari minggu subuh. ajo bilang, pemandangan pagi hari lebih indah dari pada siang hari .
ini pendakian pertama ku. dan mungkin satu satu nya pendakian yang akan ku lakukan seumur hidup ku.
''bukit apa yang kita daki ini?''
''gunung berjo''jawab ajo.
''berjo bukan gunung, ''sanggah ku.
''berjo itu bukit.'' aku membaca banyak buku tentang gunung. dengan penuh semangat, kubagi pengetahuan ku. kepada ajo, sahabat ku.
ku terangkan tentang gunung gunung terkenal di dunia.
kuceritakan tentang danau toba yang merupakan kawah gunung berapi purba.
ku kisahkan tentang letusan gunung krakatau yang abu nya membuat langit mendung setahun lebih.
sambil menyimak penjelasan ku, ajo terus mendaki.
aku di gendong nya di punggung.
ia sangat kuat. tidak sekali pun ia tampak kesusahan.
akhir nya , kami tiba di puncak bukit.
ajo menurunkan ku. kami duduk di sebuah batu besar.
ajo benar . pemandangan disini begitu indah !
matahari baru saja terbit.
warna nya merah teduh. cahaya nya kuning lembut.
rumah rumah dan pohon pohon tampak berpendar keemasan.
udara terasa dingin.
namun, segar dan bersih.
hati ku sangat bahagia. aku sangat berterima kasih kepada tuhan.
''kau menangis!''seru ajo panik. ''kau sakit?''
''tidak, tidak ,''jawab ku menenangkan ajo. ''aku bahagia.''
kutatap sahabat ku itu, '' terima kasih, ajo.''
            
   ***


 sebulan berlalu sejak hari itu.
 kini aku dirawat di rumah sakit. ini adalah keempat kali nya aku di rawat disana.
tiba tiba terdengar ketukan di jendela kaca.
ternyata ajo.
ia memanjat jendela ku yang berada di lantai dua.
ibu membuka jendela agar ajo bisa masuk.
''kenapa tidak lewat pintu?'' tanya ibu..
''tidak boleh sama satpam, bude,''jawab ajo.
''ya, jelas tidak boleh , ''kata ku, '' ini, kan , bukan jam menjenguk pasien.''
ibu menyuruh ajo duduk di kursi di dekat ku.
''kamu sedang meulis apa?'' tanya ajo.
''cerita . saat kita naik bukit dulu.''
 ''sudah selesai?''
 ''hampir,''jawab ku. '' kau yang menyelesaikan nya ya?''
''kenapa aku?''
''ini adalah cerita kita,''terang ku.  ''jadi, ini ceritamu juga. kau harus ikut bercerita.''

***
nama ku ajo, aku punya seorang sahabat. nama nya hanum.
dia baik sekali padaku. hanum sakit parah . sangat parah.
tubuh nya jadi lemah,
lalu dia meninggal.
aku sedih sekali. aku kehilangan seorang sahabat.
aku menangis saat pemakaman nya.
aku menangis malam hari nya.
aku menangis pagi hari nya.


Lalu ayah dan ibu hanum datng kerumah ku.
saat itu 6 bulan sesudah hanum meninggal, jadi, aku tidak lagi menangis.
tetapi aku masih sedih.
Ayah dan Ibu hanum berbincang bincang dengan aku dan orang tua ku.
ayah dan ibu hanum tidak punya anak lagi.
mereka ingin aku jadi anak angkat mereka.
aku bilang mau.
ayah dan ibuku bilang boleh.
sekarang aku tinggal di rumah hanum.
ayah dan ibu hanum, sangat sayang kepada ku.
aku sangat bahagia.
ini lah akhir dari cerita ku dan cerita hanum.
aku sangat bahagia. aku berdoa, semoga hanum pun berbahagia di alam sana ... █

Seharusnya Berjudul Celana Dalam

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Cerpen Karya : Etik Juwita
Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama.

"Cundaliiii!!" jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya.

Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!" Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.

"Look!!" jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!). Sundari tetap tidak mengerti.

"It’s your panty, isn’t it?" berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.

"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.

Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.

Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.

Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.

"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.

***

"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"

Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.

Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.

"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"

"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"

Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."

Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.

Marni cuma mengangguk sambil melongo.***

Hong Kong, 24 April 2005
Catatan:
- Etik Juwita adalah salah seorang buruh migran di Hongkong yang kini merintis menjadi cerpenis. Cerpen ini salah satu karya terbarunya, yang Kamis (15/9) lalu dibacakannya bersama cerpenis buruh migran lainnya, Denok Rokhmatika di Galeri Surabaya. Etik yang asal Blitar, baru pulang dari Hongkong, 13 September lalu, setelah empat tahun bekerja menjadi TKW di negeri itu. Dia berencana melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
- My panty is big-big one = My panties are bigger than his one.
- jisin: gila
- hai wo: o, begitu!

Kesedihan

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

http://lakonhidup.files.wordpress.com/2010/02/kesedihan1.jpg?w=426&h=362
Cerpen Karya : Linda Chrystanty


DIA tidak memakai sari, melainkan gaun pendek kuning cerah. Malam itu dia menyajikan makanan untuk kita. Di meja bulat di dapur kini tersaji berjenis-jenis masakan yang tidak pernah hadir sebelumnya. Dia sibuk mengurai bumbu-bumbu apa saja yang terkandung dalam kari itu, misalnya, dan menyatakan telah menghabiskan waktu sehari penuh untuk menyiapkan makan malam hari ini.
Dia benar-benar mengharap pujian, sedang aku tidak ingin berbasa-basi. Karinya terasa hambar di lidahku, tapi aku tidak dapat menjelaskan bumbu apa yang kurang atau berlebih. Aku tidak pandai memasak, sehingga tidak begitu paham tabiat bumbu-bumbu itu. Aku hanya bisa membedakan rasa: pedas, manis, asin, pahit, asam. Seperti perpaduan rasa kehidupan kita. Hanya sekali aku memasak untukmu, nasi goreng udang itu, dan aku sendiri yang menghabiskannya. Selebihnya kamu selalu memasak untukku, setiap hari. Sarapan, makan siang, makan malam. Panekuk kentang, spaghetti, semur, salmon steak, tumis brokoli.
Tak berapa lama dia bercerita di mana kalian bertemu pertama kali. Suatu sore di pantai, seorang lelaki paruh baya membentang sehelai kain di atas pasir, lalu melambai padanya untuk duduk bersama-sama melihat laut. Dia mendekat, karena baru saja bertengkar dengan lelaki yang mengajaknya melancong ke pantai itu. Karena kamu begitu baik dan langsung menawarinya menginap di hotel yang nyaman dan juga membayari tiket pulangnya, dia tidak berpikir lama untuk melarikan diri dari teman kencannya, anak muda yang cepat naik pitam dan menyediakan tempat tidur reyot di pondok kayu yang nyaris terjungkal dari tebing curam. Aku tersenyum mendengar ceritanya, sedang kamu tampak gugup dan tiap sebentar meneguk air dari gelas, hingga tandas.
Terakhir kali kita bersama ke pantai akhir tahun lalu. Kamu menyongsong ombak dengan papan selancarmu, sedang aku berdiri di pantai sambil menilik-nilik ke arah laut yang seakan siap tumpah ke sini. Lidah ombak menjulat, lalu terkulai. Di atasnya kamu terayun, lalu terhempas. Setelah itu di atas pasir hangat, kubentang handuk besar, lalu terlentang seperti hiu mati.
Sekali waktu kamu mengajakku mengintip ikan-ikan dan karang dekat pantai itu. Aku tidak perlu menyelam, melainkan merunduk ke dalam air dengan pipa oksigen mencuat ke udara terbuka. Namun, aku lebih suka terbungkuk-bungkuk di pantai mencari kulit kerang atau bintang laut.
Setelah makan malam, dia menumpuk semua piring kotor di bak cucian. Sisa makanan di piring tidak dibuangnya ke tempat sampah. Kita selalu membuang seluruh sisa makanan ke tong sampah, lalu mencuci semua peralatan dapur setelah makan. Kita tidak ingin semut, kecoak, atau tikus berkerumun di dapur ini bagai tamu-tamu sebuah pesta.
Dia menarik lenganmu, mengajakmu buru-buru masuk kamar. Kamu terseret-seret macam anak kecil merajuk. Tidak kudengar suara air kran mengucur di wastafel, yang menandakan kamu menyikat gigi sebelum tidur seperti kebiasaan kita di rumah ini. Dia juga tidak menyikat giginya, tidur dengan kerak kari, serpih sayur, dan serat ayam di sela-sela gusi.
Di pagi hari kamu tidak lagi menyiapkan sarapan. Dia memasak kue dadar manis untuk kita, menyusun irisan pisang dan menabur keju parut di atasnya. Dia masih mengenakan gaun pendek kuning itu, tidak menggantinya dengan pakaian rumah. Tapi aku merindukan sarapan kita sebelum ini: roti gandum, telur dadar atau mata sapi, dan daging sapi atau kalkun asin.
Kita pun duduk mengeliling meja bulat itu. Wajahmu tampak cemas. Dia terus mengoceh tentang apa saja, termasuk ingin cepat-cepat menikah denganmu dan mempunyai satu saja anak yang lucu. Namun, kamu langsung menyela ucapannya. Kamu tidak ingin menikah apalagi punya anak. Dia memberengut sebentar, lalu meraih tanganmu dan berkata bahwa dia akan sabar menunggu saat yang tepat. Wajahmu memucat. Aku tersedak.
Kita menonton siaran berita pagi di televisi, duduk berdampingan di sofa itu. Dia pergi ke kamar mandi. Kamu berbisik-bisik menanyakan apakah aku tidak apa-apa. Tentu saja aku baik-baik saja. Aku tidak sedih seperti yang kamu bayangkan. Kamu mengangguk-angguk, lalu berkata bahwa sejak tahun lalu kita memang sudah sendiri-sendiri. Kita tidak lagi tidur bersama. Aku membaca dan menulis sepanjang hari, sedang kamu pergi ke kantor, memasak, dan menghabiskan waktu senggang sendiri. Hubungan menahun membuat jemu, tapi tidak semua orang berani berpisah hanya dengan alasan itu. Anehnya, kita juga merasa ada ikatan yang lebih dalam dari apa yang tampak. Kita akan selalu seperti ini, bersama-sama, katamu. Selamanya? Ya, selamanya. Kamu menatapku, berkaca-kaca.
Dia bersenandung riang di dapur. Menyiapkan bahan-bahan masakan untuk makan siang nanti. Kamu tidak suka perempuan menghabiskan waktu mereka di dapur. Kamu tidak menginginkan perempuan yang mengurus rumah sepanjang hari. Katamu, perempuan semacam itu sama sekali tidak seksi. Karena itu, kamu memasak untuk kita, agar aku selalu seksi, kataku. Kamu tertawa keras. Dia berseru dari dapur. “Ada yang lucu?” Kita serempak menjawab: tidak ada. Kamu lalu memintanya bergabung menonton berita dengan kita. Kamu juga tidak senang dia menghabiskan waktu di dapur. Dia sama sekali bukan koki atau jongos. Namun, dia menyahut tidak suka politik dan urusan negara. Teroris dan polisi juga menakutkannya.
Dalam dua bulan, dia sudah empat kali menginap di rumah kita dan selalu memasak. Suatu kali, saat kamu masih di kantor dan aku pulang ke rumah lebih awal, dia mengeluarkan sehelai potret dari dompetnya. Potretnya dengan seorang pria. Mereka mengenakan pakaian pengantin, berdampingan di muka gereja yang lebih mirip kuil Hindu dengan patung Isa yang lebih menyerupai tokoh-tokoh Mahabharata, Rama atau Krishna. Dia bercerita tentang suaminya yang meninggalkannya berbulan-bulan, tidak memberi uang belanja, dan bahkan menangis tersedu-sedu di subuh hari teringat salah seorang pacarnya, perempuan gemuk dengan pipi-pipi tembam kemerahan. “Saya sangat mencintainya, meski dia gemuk,” tutur suami kurang ajar itu, seraya sesegukan dan memeluk bantal mungil pemberian sang pacar. Dia lantas harus menghibur lelaki tersebut dan menyembuhkan luka patah hatinya yang parah dengan menahan luka hati sendiri. Dia ingin mengakhiri pernikahan mereka, tapi pastor bersikeras menyatukan pasangan ini kembali. Kusarankan dia melarikan diri. Suaminya koki di kapal pesiar. Namun aku tidak percaya. Lelaki itu berambut panjang sepinggang dengan tato di sekujur badan. Suamimu lebih pantas berdagang obat bius, kataku. Dia terpingkal-pingkal.
Dia merasa beruntung bertemu denganmu. Dulu dia harus berpacaran dengan lelaki-lelaki tua untuk sekadar uang jajan. Kamu juga tua, tapi tampan dan menghargai perempuan, katanya. Aku terbahak-bahak. Dia harus menanggung hidup ibu dan empat keponakan. Bekerja sebagai pelayan kafe, tidak mendatangkan cukup uang untuk mengenyangkan perut enam orang dan membiayai sekolah anak-anak itu.
Ketika kamu membuka pintu depan, dia segera melesat dari kursinya untuk menyambutmu dengan ciuman. Kamu malah menghampiriku, merangkulku dan bertanya apa saja yang sudah dilakukan dua perempuan dalam rumah. Dia kembali sibuk menata piring-piring di meja bulat itu, menyiapkan makan malam kita.
Aku kembali ke kamarku, membiarkan kalian bercengkrama. Hatiku senang saat mendengar gelaktawa. Aku juga teringat ceritanya tentang hubungan kita. Kamu menyebutku keponakanmu!
Segalanya tampak berjalan lancar. Kita tetap tinggal bersama dan kamu kini memiliki seseorang. Namun, perubahan yang menyesakkan itu terjadi juga.
Di hari Minggu itu aku bangun pagi-pagi dan mulai mencuci semua piring kotor yang bertumpuk di bak cucian. Dua ekor kecoak merayap-rayap malas dalam panci dan gelas. Mereka kekenyangan.
Kucuran air kran terdengar nyaring dalam rumah yang hening, sehingga kamu tiba-tiba membuka pintu kamarmu dengan mata setengah terpejam dan bertanya dengan nada kesal, “Apa sih yang kamu kerjakan sepagi ini?”
Aku tiba-tiba sedih. Kutinggalkan piring-piring kotor di bak cucian, lalu bergegas ke kamarku dan mengunci diri. Kamu mengetuk pintu kamarku berkali-kali. Karena tidak ingin membangunkan tidurnya, kubuka pintu kamar dan kita langsung berpelukan. Kamu meminta maaf dan berkata bahwa aku boleh melakukan apa saja dalam rumahku sendiri, rumah kita.
Di dapur terdengar seseorang mencuci piring-piring. Air kran kembali mengucur, deras. Kita tetap berpelukan dan tidak pernah merasa sesedih ini. (*)